Ia mulai bekerja di tempat kursus bahasa
Inggrisku kira-kira sebulan yang lalu. Pada hari-hari pertama, Dian memang
telah menunjukkan sikapnya yang ‘mengundang’. Ia sengaja memakai baju-baju
kerja yang merangsang gairah kelelakianku. Buah dadanya sangat besar. BH-nya
mungkin berukuran 38 B. Kalau berdiri di hadapanku, ia sengaja membuka kancing
baju luarnya sehingga baju dalamnya yang tipis dan menonjolkan bukit dadanya
terlihat.
Belum lagi kalau aku berdiri di hadapannya (saat memberi
instruksi), ia selalu memperhatikan bagian bawah perutku, mula-mula aku risih
dibuatnya, karena takut kalau-kalau ketahuan oleh isteriku, tapi saat kupandang
wajahnya, ia malah tersenyum-senyum genit. Wah…, kalau begini, bisa panjang nih
urusannya…, pikirku ngeres.
Dan ternyata benar! Pada suatu hari Rabu, sekitar seminggu
yang lalu, saat kami hendak pulang dari kantor, hujan turun dengan lebatnya,
office boy sudah pulang duluan. Hanya tinggal aku dan Dian. “Pak, saya boleh
nunggu dulu di sini, ya?”, tanyanya dengan suara serak-serak basah. “Tentu
boleh dong, nggak bawa payung ya, Dian?”.
“Biasanya sih bawa, cuma tadi pagi terburu-buru, jadi
ketinggalan, Pak”. “Oh begitu. Oh ya, pintu sudah dikunci semua? Coba kamu
periksa lagi ruang-ruang kelas yang ada. Saya mau ke kamar kecil sebentar”.
“Baik Pak”. jawabnya sambil berlalu dari tempat kami berdiri. Kami kebetulan
saat itu berada di ruang tunggu orang tua murid yang berdekatan dengan ruang
sekretariat tempat kerjanya sehari-hari.
Aku rasanya ingin pipis. Segera saja aku menuju WC di ruang
atas. Beberapa menit kemudian, aku berpapasan dengan Dian di lorong antara WC
dan ruang kursus, hingga tanpa sengaja aku bertubrukan dengannya. Buk!,
tanganku tanpa sengaja menyenggol payudaranya, wah besar sekali. “Wah.., maaf
Pak…”, sergahnya.
“Sama-sama, udah dikunci semua kelasnya, Dian?”. “Sudah,
Pak”, jawabnya pelan dengan raut muka lesu. “Aduh, lelah sekali rasanya hari
ini”, keluhnya pelan. Melihat keadaannya itu, aku segera mengambilkan air
minum, timbul niatku untuk tidak membuang-buang lagi kesempatan itu, kurogoh
kantongku, wah ternyata tidak ada, ya…, aku memang mencari serbuk perangsang
untuk dimasukkan ke minumannya nanti.
“Bapak mencari ini ya…”, tiba-tiba terdengar suaranya sayu
sambil menunjukkan kantong kecil putih di tangannya. “Ngg…, nggak kok…”,
jawabku gelagapan. “Pak Ivan, Bapak nggak perlu pakai ini kok, karena saya siap
jika Bapak menghendaki saya melayani Bapak malam ini juga”, jawabnya dengan
suara mesra dan kerlingan mata genitnya.
Nah ini dia yang kutunggu! Lalu kutarik tangannya ke ruang
sekretariat, kami siap bertempur di atas meja sekretariat yang lebar. Setelah
sampai di sana, tanpa ba-bi-bu lagi ia jongkok dan membuka ritsluiting celana
panjangku, dimasukkannya tangannya ke dalam celana dalamku, lalu ditariknya
penisku yang sudah mengeras dari tadi, kemudian dikeluarkannya secepat mungkin,
kemudian ia mulai menjilatinya dengan pelan-pelan lalu mengulum-ngulumnya
sambil mengocok-ngocoknya, dihisap-hisapnya sembari matanya menatap ke wajahku,
aku sampai merem melek merasakan kenikmatan yang tiada tara itu.
Cepat-cepat kususupkan tangan kananku ke balik kaus dalamnya,
masuk ke dalam BH-nya, wah…, buah dadanya amat besar, kuremas-remas sambil ia
terus mengisap-isap penisku yang semakin menegang, kemudian ia mulai membuka
bajunya sendiri, aku pun melakukan hal yang sama.
Saat kami sudah benar-benar saling telanjang, ia mulai
menelungkup ke meja sekretariat, melihat posisinya itu, segera kutarik kakinya
ke atas dan kupangku di atas bahuku, lalu aku mulai pelan-pelan memasukkan
penisku ke liang surganya yang mulai basah, bless, jeb! jeb! jeb! “Uuh…, uh…,
uh…, uuuh…”, ia mengerang kenikmatan.
“Ahh…, nik.., maatt.., Pak…”, erangnya. Kedua tangannya
bertumpu di atas meja sekretariat. Sambil dia maju-mundur, penisku seperti
diremas-remas, dikocok-kocok, dipelintir-pelintir. Lima belas menit kami dalam
berada dalam posisi seperti itu. Lalu ia minta untuk mengganti posisi. Aku
duduk di atas meja, sedang ia duduk di pangkuanku.
Pelan-pelan ia meraih penisku dan dimasukkan ke
kewanitaannya, ah…, nikmat sekali. Kemudian tangannya memegang leherku, sambil
menaik turunkan pantatnya yang bahenol itu. “Jebb…, jebb…, jebb…, bless…”,
penisku dimainkannya dengan bernafsu sekali. Beberapa menit kemudian, aku
merasa sudah tidak tahan lagi. Ingin kusemprotkan maniku sebanyak mungkin ke
dalam surga dunianya tersebut.
Dan memang ternyata Dian akhirnya lebih dahulu mencapai
puncak kenikmatan, dipeluknya leherku kuat-kuat, “Ah.., Pak Ivan…, nikmat
sekali…”, erangnya kenikmatan. Aku pun menyusul dengan menyemprotkan cairan
ajaibku ke vaginanya, “Ccrot! crot! crott!”, sekitar 10 kali semprotan masuk ke
sana, aduh…, nikmatnya luar biasa.
Tak percuma aku mempekerjakan sekretaris seperti dirinya,
karena servis yang diberikannya luar dalam amat memuaskan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar