Aku punya seorang kakak
ipar, sebut saja
Wina namanya. Usianya sudah 36 tahun, lebih tua 5 tahun dari istriku. Mbak
Wina, begitu aku memanggilnya, sudah menikah dengan dua anak. Berbeda dengan
istriku yang cenderung kurus, Mbak Wina berbody montok dengan dada dan pantat
yang lebih besar dibanding istriku.
Rumah Mbak Wina tidak terlalu jauh dengan rumahku sehingga
aku dan istriku sering berkunjung dan juga sebaliknya. Tapi aku lebih suka
berkunjung ke rumahnya, karena di rumahnya, Mbak Wina biasa memakai pakaian
rumah yang santai bahkan cenderung terbuka.
Pernah suatu pagi aku berkunjung, dia baru saja bangun tidur
dan mengenakan daster tipis tembus pandang yang menampakkan buah dada besarnya
tanpa bra. Pernah juga aku suatu waktu Mbak Wina dengan santainya keluar kamar
mandi dengan lilitan handuk dan tiba2x handuk itu melorot sehingga aku terpana
melihat tubuh montoknya yg bugil. Sayang waktu itu ada istriku sehingga aku
berlagak buang muka.
Suatu pagi di hari Minggu, aku diminta istriku mengantarkan
makanan yang dibuatnya untuk keponakannya, anak-anak Mbak Wina. Tanpa pikir
panjang aku langsung melajukan mobilku ke rumah Mbak Wina, kali ini sendirian
saja. Dan satu hal yang membuatku semangat adalah fakta bahwa suami Mbak Wina
sedang tidak ada di rumah.
Sampai di rumah Mbak Wina, semua masih tidur sehingga yang
membukakan pintu adalah pembantunya. Aku masuk ke dalam rumah dan setelah yakin
si pembantu naik ke kamarnya di atas, aku mulai bergerilya.
Dengan perlahan aku membuka pintu kamar Mbak Wina, dan
seperti sudah kuduga, Mbak Wina tidur dengan daster tipisnya yang bagian
bawahnya sudah tersingkap hingga paha dan celana dalam warna hitamnya. Aku
meneguk ludah dan langsung konak melihat paha montok yang putih mulus itu,
apalagi lengkap dengan CD hitam yang kontras dengan kulit putihnya.
Pagi itu aku sudah mempersiapkan segala sesuatunya untuk bisa
menjajal tubuh montok kakak ipar ku. Tekadku sudah bulat untuk menikmati setiap
lekukan tubuhnya. Setelah puas melihat pemandangan di kamar, aku kemudian
menuju meja makan di mana kulihat dua gelas teh manis sudah terhidang, satu
untukku dan satunya pasti untuk Mbak Wina.
Dengan penuh semangat aku meneteskan cairan perangsang yang
kubeli beberapa waktu lalu ke dalam teh Mbak Wina. Aku berharap wanita itu akan
dipenuhi birahi sehingga tidak menolak untuk aku sentuh.
Dewi keberuntungan memang sedang memihakku pagi itu. Tak
berapa lama, Mbak Wina bangun dan seperti biasa, dengan santainya dia berjalan
keluar kamar masih dengan daster minim itu yang membuatku semakin tergila-gila.
“Eh, ada Farhan, udah lama?”, sapanya dengan suara serak yang terdengar seksi,
seseksi tubuhnya. “Barusan kok mbak, antar makanan buatan Rina”, jawabku sambil
melihat dengan jelas buah dada besarnya yang no-bra itu.
Mbak Wina memang sangat cuek, dia tidak memperdulikan mataku
yang nakal memandangi buah dadanya yang menggelantung di balik daster tipisnya.
Dengan gontai ia menuju meja makan dan menghirup teh yang sudah kuberikan
cairan perangsang. Menurut teori, dalam waktu 5 sampai 10 menit ke depan,
hormon progesteron Mbak Wina akan meningkat dan ia akan terbakar nafsu birahi.
Setelah minum teh, Mbak Wina masuk ke kamar mandi untuk cuci
muka, pipis dan pastinya cuci meki lah, hehee. Keluar dari kamar mandi, wajah
Mbak Wina memang sudah lebih segar. Masih dengan daster tipis yang memberikan
informasi maksimal itu, dia memanggil pembantunya dan menyuruh ke pasar. Wah,
tambah perfect deh, pikirku.
Setelah sedikit beraktivitas di ruang makan, ia kembali ke
kamar. Pasti dia akan ganti baju pikirku. Dengan perlahan aku mengikuti di
belakangnya. Dan benar juga seperti dugaanku, Mbak Wina tidak menutup dengan
baik pintu kamarnya. Dia begitu cuek atau sengaja memberikanku kesempatan
mengintipnya berganti baju.
Penisku semakin mengeras melihat Mbak Wina menanggalkan
dasternya dan … oh, rupanya obat perangsangku sudah mulai bekerja. Mbak Wina
tampak gelisah lalu mengusap-usap selangkangannya dengan tangan.
Aku seperti diberi berkah pagi itu, Mbak Wina benar2x seperti
terangsang hebat. Dia dengan sedikit terburu-buru melepas CD hitamnya sehingga
kini ia benar2x bugil di kamar. Kemudian kulihat ia mengusap-usap bagian meki
dan sekitarnya dengan tangan. Wah… tak akan kubiarkan dia melakukan masturbasi.
Dengan semangat 45 dan penuh percaya diri, aku membuka
celanaku dan membiarkan penisku yang sudah konak dari tadi mengacung bebas.
Walau dengan sedikit canggung, aku beranikan diri membuka
pintu kamarnya.
“Farhan… kamu…”, Mbak Wina menjerit melihat aku masuk ke kamarnya sementara dia sedang bugil dan lebih kaget lagi melihat aku tanpa celana dan mengacungkan penis ke arahnya.
“Farhan… kamu…”, Mbak Wina menjerit melihat aku masuk ke kamarnya sementara dia sedang bugil dan lebih kaget lagi melihat aku tanpa celana dan mengacungkan penis ke arahnya.
“Daripada pakai tangan, pakai ini aja Mbak…”, pintaku seraya
memegang batang penisku.
“Gila kamu, jangan kurang ajar”, sergahnya ketika aku mendekati tubuh bugilnya.
“Gila kamu, jangan kurang ajar”, sergahnya ketika aku mendekati tubuh bugilnya.
Mbak Wina menampik tanganku yang ingin menjamahnya, tapi
nafsu birahi yang membakar otaknya membuatnya tak cukup tenaga untuk menolak
lebih lanjut sentuhanku. Aku yakin kalau birahinya sudah memuncak dan dia juga
menginginkan sex denganku. Ketika tanganku berhasil meraih buah dada dan
meremasnya, dia hanya bilang “Gila kamu!”, tapi tak sedikitpun menjauhkan
tanganku untuk meremas-remas buah dada dan memilin puting susunya.
Aku sudah merasa di atas angin. Mbak Wina hanya bersumpah
serapah, namun tubuhnya seperti pasrah. Setiap sentuhan dan remasan tanganku di
tubuhnya hanya direspon dengan kata “kurang ajar” dan “gila kamu”, namun aku
merasa yakin dia menikmatinya. Dugaanku betul, Mbak Wina akhirnya dengan malu
memegang batang penisku.
“Besar banget punya kamu Farhan”, serunya.
“Pingin masuk memek Mbak tuh…” jawabku.
Mbak Wina tersenyum manja,”Gila kamu!”
“Iya mbak, saya memang tergila-gila pada Mbak”, rayuku sambil terus memilin puting susunya yang sudah mengeras.
“Pingin masuk memek Mbak tuh…” jawabku.
Mbak Wina tersenyum manja,”Gila kamu!”
“Iya mbak, saya memang tergila-gila pada Mbak”, rayuku sambil terus memilin puting susunya yang sudah mengeras.
Mbak Wina semakin relaks dan pasrah. Kini dengan sangat mudah
aku bisa meraih daerah selangkangannya yang berbulu tipis dan mulai meraba-raba
vaginanya yang ternyata sudah becek.
“Kaya’nya memeknya udah minta nih Mbak”, kataku.
“Gila kamu!”, entah sudah berapa kali dia mengeluarkan kata itu pagi ini.
“Nungging Mbak, saya masukin dari belakang”, pintaku untuk doggy style.
“Gila kamu!”, entah sudah berapa kali dia mengeluarkan kata itu pagi ini.
“Nungging Mbak, saya masukin dari belakang”, pintaku untuk doggy style.
Mbak Wina masih dengan sumpah serapah menuruti kemauanku.
Kini pantat bahenolnya terpampang di hadapanku, pantat yang selama ini aku
impikan itu akhirnya bisa kuraih dan kuremas-remas. Dengan perlahan, aku
memasukkan batang penisku ke dalam liang vaginanya. Tidak sulit tentu saja,
maklum sudah punya dua anak dan memang sudah becek pula.
Maka adegan selanjutnya sudah bisa ditebak, Mbak Wina yang
sudah terbakar birahi tentu saja orgasme lebih dulu akibat pompa penisku pada
vaginanya. Namun sekali lagi, pagi itu memang milikku. Meskipun sudah orgasmu,
kakak ipar ku yang montok itu tetap penuh birahi meladeni permainanku sampai
akhirnya kami merasakan orgasme secara bersama. Nikmatnya luar biasaaaa.
“Sembarangan kamu numpahin sperma di memekku ya Farhan…”,
jeritnya ketika aku memuncratkan spermaku ke dalam rahimnya.
“Habis memek Mbak enak sih….”, seruku di telinganya. Kakak ipar ku hanya melejat-lejat menikmati orgasmenya juga.
“Habis memek Mbak enak sih….”, seruku di telinganya. Kakak ipar ku hanya melejat-lejat menikmati orgasmenya juga.
Selesai orgasme, seperti sepasang kekasih, kami berciuman.
“Kamu memang gila Farhan, awas… jangan bilang siapa-siapa ya!”, serunya perlahan.
“Ya iyalah Mbak, masa’ mau cerita-cerita..”, candaku. Dia pun tertawa lepas.
“Kapan-kapan lagi ya Mbak…”, pintaku.
“Gila… kamu gila…” jeritnya sambil berjalan ke kamar mandi.
“Kamu memang gila Farhan, awas… jangan bilang siapa-siapa ya!”, serunya perlahan.
“Ya iyalah Mbak, masa’ mau cerita-cerita..”, candaku. Dia pun tertawa lepas.
“Kapan-kapan lagi ya Mbak…”, pintaku.
“Gila… kamu gila…” jeritnya sambil berjalan ke kamar mandi.
Aku memandang tubuh montok kakak ipar ku dengan senyum puas.
Akhirnya tubuh impianku itu dapat kunikmati juga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar